Sabtu, 30 Agustus 2014

Jenis- jenis metode pengomposan


1.       METODE INDORE

Pengomposan dengan metode indore dikembangkan oleh Howard yang bekerja sama dengan Jackson dan Ward pada tahun 1924 — 1926 (Haug, 1980,Gaur, 1982).
Bahan dasar yang diperlukan untuk pengomposan adalah campuran residu tanaman, kotoran ternak, kencing ternak, abu bakaran kayu, dan air. Semua bahan yang berasal dari tumbuhan langsung tersedia termasuk gulma, batang jagung, daun yang rontok, pangkasan daun, sisa pakan ternak, pupuk hijau dikumpulkan dan ditimbun di lubang yang sudah disiapkan.
Bahan-bahan yang tersedia kemudian disusun menurut lapisan-lapisan dengan ketebalan 15 cm, total ketebalan timbunan dapat dibuat sampai 1,2 — 1,5 m. Apabila bahan yang dibuat kompos beraneka maka proses pengomposan berjalan lebih baik. Lokasi pembuatan kompos dipilih tempat yang agak tinggi sehingga terbebas kemungkinan tergenang selama proses pengomposan berlangsung. Lubang galian dibuat dengan kedalaman 1 m, dan lebar antara 1,5 — 2 m, dengan panjang bervariasi tergantung ketersediaan bahan. Untuk melindungi lubang, pengomposan maka di sekeliling lubang diberi tanggul kecil. Lubang pembuatan kompos sebaiknya dekat kandang ternak dan sumber air. Kotoran ternak yang dikumpulkan dari kandang kemudian disebar secara merata dalam bentuk lapisan setebal 10 — 15 cm. Untuk setiap lapisan bahan yang dikomposkan ditahuri dengan kotoran dan tanah yang terkena kencing atau dibuat dari campuran 4,5 kg kotoran ternak, 3,5 kg tanah yang terkena kencing dan 4,5 kg inokulan fungi yang diambil dari bahan kompos yang sedang aktif. Selama proses pengomposan harus dalam keadaan basah sehingga secara berkala disiram. Untuk membuat lapisan-lapisan bahan yang di komposkan tidak boleh dari satu
minggu.
Masalah yang harus diperhatikan bahwa lapisan-lapisan bahan kompos tidak menjadi padat. Selama proses pengomposan berlangsung dilakukan pembalikan 3 kali, pertama 15 hari setelah proses berlangsung, kemudian setelah 30 hari dan ketiga setelah 2 bulan proses pengomposan berlangsung.Setiap kali dilakukan pembalikan maka bahan kompos diaduk dengan baik, dan tetap dalam keadaan lembap. Metode ini sesuai untuk daerah yang mempunyai curah hujan tinggi.
Ada dua macam metode indore yang cukup populer, yaitu dengan cara menumpuk bahan yang dikomposkan di atas tanah (indore heap method) dan dimasukkan dalam lubang galian (indore pit method).


2.       METODE HEAP

Ukuran timbunan untuk metode indore bagian dasar dengan lebar 2 m, tinggi 1,5 m dan panjang 2 m atau lebih. Bagian tepi atas agak dipadatkan sehingga lebih sempit kurang lebih 0,5 m. Untuk melindungi timbunan kompos dari tiupan angin maka di sekitar timbunan diberi peneduh atau pelindung. Timbunan bahan kompos dimulai dari lapisan bahan yang kaya karbon setebal 15 cm, termasuk: daun, jerami, serbuk gergaji, serpihan kayu, potongan batang jagung,. Kemudian lapisan berikutnya adalah bahan yang kaya nitrogen setebal 10 — 15 cm, termasuk rumput segar, gulma atau residu tanaman pekarangan, sampah, kotoran ternak segar yang kering, sari limbah kering. Lapisan-lapisan diulang sampai mencapai ketinggian 1,5 m. Selama proses pengomposan berlangsung harus dalam keadaan lembap dan tidak terlalu basah. Untuk mempertahankan panas yang timbul selama proses pengomposan, maka bahan kompos ditutup dengan tanah atau lumpur. Proses pembalikan dilakukan setelah 6 minggu dan 12 minggu. Apabila bahan dasar yang dikomposkan terbatas, maka lapisan-lapisan bahan kaya karbon dan nitrogen menyesuaikan dengan ketersediaannya, atau semua bahan yang tersedia dicampur terlebih dahulu kemudian diperhalus dengan cara dicacah. Bahan yang lebih halus akan lebih cepat terdekomposisi

Beberapa hal berikut ini merupakan dasar yang dapat digunakan sebagai
acuan untuk mempercepat proses pengomposan tetapi dengan hasil yang baik:
Ø  Timbunan bahan kompos harus cukup mengandung nitrogen atau protein. Kotoran ternak, rerumputan dan gulma muda kaya nitrogen.
Ø  Dua atau lebih bahan dasar kompos dicampur merata untuk mendorong proses dekomposisi berjalan dengan baik.
Ø  Bahan dasar kompos diperhalus dengan cara dicacah.
Ø  Jaga kelembapan kompos selama proses pengomposan berlangsung, tetapi tidak terlalu basah.
Ø  Apabila tanah dalam keadaan asam, maka diberi kapur. Untuk memperkaya kandungan hara kompos dapat ditambahkan batuan fosfat.

Kendala metode heap:
        Banyak memerlukan tenaga kerja
        Tidak terlindung dari terpaan hujan dan angin
        Memerlukan lebih banyak air sehingga tidak sesuai untuk daerah yang curah hujannya rendah.
        Proses fermentasi berjalan secara aerob, sehingga proses pengomposan  berjalan lebih cepat, tetapi mendorong kehilangan bahan organik dan nitrogen lebih besar.



3.       METODE BANGALORE

Metode ini mempunyai banyak kelemahan. Selama proses pengomposan berlangsung, maka bahan yang dikomposkan harus selalu berada dalam lubang atau bak pengomposan. Selama proses pengomposan tidak dilakukan penyiraman atau pembalikan. Karena timbunan kompos ditutup dengan tanah atau lumpur, maka penyiraman harus cukup banyak sampai proses selesai. Setelah 8 — 10 hari proses berjalan secara aerob, selanjutnya proses berjalan secara semi aerob. Proses ini berjalan secara lambat dan sedikit demi sedikit sehingga diperlukan waktu 6 — 8 bulan, sampai kompos siap dipakai. Proses ini tidak terjadi kehilangan karbon maupun nitrogen, sehingga kualitas kompos sangat tergantung pada bahan dasar yang digunakan. Metode pengomposan ini dikembangkan di Bangalore ( India) oleh Acharya (1939) .
Bahan yang dikomposkan terdiri atas campuran tinja dan sampah kota. Metode ini sangat sesuai untuk wilayah yang curah hujannya rendah. Diperlukan waktu antara 6 — 8 bulan untuk memperoleh kompos yang siap pakai. Pengomposan dengan cara ini memperoleh hasil yang lebih banyak dari-pada proses pengomposan aerob, kehilangan nitrogen relatif sedikit dan tidak banyak memerlukan tenaga. Akan tetapi memerlukan waktu yang lebih panjang. Kemungkinan yang merupakan masalah adalah bau yang busuk dan lalat yang cukup banyak.


4.       METODE BERKELEY

Bahan yang dikomposkan merupakan campuran bahan organik kaya selulosa (2 bagian) dan bahan organik kaya nitrogen (1 bagian). Bahan ditimbun secara berlapis-lapis dengan ukuran 2,4 x 2,2 x 1,5 tn. Setelah dicapai suhu termofilik kurang lebih selama 2 — 3 hari, pada hari keempat timbunan bahan kompos dibalik. Pembalikan dilakukan lagi pada hari ke-7 dan ke-10. Keunggulan: proses pengomposannya terjadi dengan cepat dan dalam waktu yang relatif singkat telah siap dimanfaatkan.


5.       METODE VERMIKOMPOS

Pengomposan model ini memanfaatkan aktivitas cacing tanah, di samping itu cacing tanah mempunyai peranan penting dalam mempertahankan produktivitas tanah. Cacing tanah hanya membutuhkan 5% — 10% makanan untuk tumbuh dan mempertahankan kegiatan fisik, dan sisanya dibuang dalam bentuk ekskresi. Bahan sekresi mengandung senyawa organik dengan ukuran partikel reknit’ seragam, kaya unsur hara makro dan mikro yang segera tersedia untuk tanaman, vitamin, ensim dan mikroorganisme. Vermikompos adalah pupuk organik yang mengandung sekresi cacing, humus, cacing hidup dan organisme lainnya. Populasi cacing akan meningkat secara dramatis apabila biomassa kaya nutrisi, misalkan limbah organik. Limbah organik lembap sebanyak 1 ton akan menghasilkan sebanyak 300 kg vermikompos. Beberapa negara di Asia, seperti India, Filipina dan Indonesia memanfaatkan teknologi ini untuk menanggulangi masalah sampah kota. Pengomposan menggunakan teknik kultur cacing tanah dapat dilaksanakan dengan kapasitas besar 100-200 ton limbah organik/hari. Karena kegiatan cacing tanah dengan cepat menurunkan volume biomassa dalam beberapa hari, maka tidak perlu dilakukan pembalikan bahan dan hampir tidak menimbulkan bau busuk: kultur vermikompos bersifat efekti f, sederhana dan merupakan proses pengomposan limbah organik yamg hemat energi.

Pengomposan model ini dilaksanakan melalui tiga tahap, ialah:
(a) pengadaan cacing tanah,
(b) perbanyakan cacing tanah,
(c) proses pengomposan.

Kelebihan model pengomposan ini dapat dilakukan di wilayah permukiman padat dengan menggunakan kotak kayu ukuran kecil yang ditempatkan di pekarangan atau teras rumah. Dalam pembuatan vennikompos hanya ada beberapa jenis cacing yang sangat aktif dalam perombakan bahan organik. Jenis cacing tanah yang paling efisien dalam program pengomposan adalah Eisenia fetida dan E. eugeniae, sedang jenis yang cukup baik adalah genus Perionyx. Pengomposan model ini selain diperoleh vermikompos yang kaya hara, juga dihasilkan biomassa cacing sebagai sumber protein hewani.
Cacing tanah dalam pertanian organik sebagai agensia yang mampu menghancurkan bahan organik, kecuali bahan-bahan yang tidak mudah terdekomposisi. Apabila sejak awal pertumbuhan vermikompos digunakan sebagai sumber pupuk, maka penggunaan pupuk kimia dapat ditekan sebesar 50%. Vermikompos sangat baik sebagai media campuran untuk pembibitan tanaman, dan dapat dikembangkan untuk kegiatan agribisnis, terutama di tempat-tempat pembuangan sampah. Pembuatan vermikompos memerlukan sumber daya manusia yang sepadan. Kegiatan vermikompos baru terbatas pada skala penelitian laboratorium. di samping itu, belum dijumpai jenis cacing lokal yang mampu berperanan dalam proses pengomposan, selama ini masih menggunakan cacing impor.


6.       METODE JEPANG

Sebagai pengganti lubang galian digunakan bak penampung yang terbuat dari anyaman kawat atau bambu, ban mobil bekas yang disusun bertingkat, atau bahan lain yang tersedia setempat. Dinding bak dirancang sedemikian rupa sehingga aerasi berjalan dengan lancar. Bagian dasar dari bak ditutup rapat dengan tujuan untuk menghindarkan terjadinya pelindian unsur hara ke tanah yang ada di bawahnya. Bahan dasar kompos yang cocok untuk metode Jepang adalah: kotoran sapi dan kotoran ayam, rumput, daun segar dan kering, limbah tanaman dan gulma limbah agroindustri (belotong, limbah pabrik pengalengan sayuran dan buah), bahan mineral (batuan fosfat), sampah kota dan rumah tangga serta Iimbah padat dan cair yang berasal dari instalasi penyehatan. Keunggulan metode ini disebabkan karena bak penampung diletakkan di atas permukaan tanah sehingga memudahkan dalam mengaduk bahan yang dikomposkan. Tidak seperti halnya proses pengomposan yang menghasilkan suhu mencapai
65°C — 70°C, maka dengan metode ini kehilangan nitrogen dalam bentuk nitrat akibat pelindian dapat dihindarkan. Teknologi proses pengomposan dari waktu ke waktu mengalami perbaikan sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan, dan terutama dalam menganti-sipasi meningkatnya sampah kota dan permukiman yang makin beragam sesuai dengan makin meningkatnya penduduk perkotaan termasuk kegiatannya. Beberapa kelebihan yang dapat diinventarisasi adalah usaha untuk mempercepat proses dekomposisi Iimbah serealia, tetapi juga dengan bantuan inokulan seperti bakteri pelarut fosfat (Aspergilus) dan Azotobakter sejauh bahan kompos diinokulasi dengan batuan fosfat. Kompos dapat diperkaya dengan pupuk N dan P. lnokulan lain yang sering digunakan untuk mempercepat proses pengomposan bahan organik adalah Trichoderma sp.


Nama : Avista Apriliyani
Kelas : XI IPA 3


Tidak ada komentar:

Posting Komentar